Jumat, 01 Januari 2010

Liong, Kesenian Jatinangor Mirip Barongsai yang Beda Nasib


Liong, Kesenian Jatinangor Mirip Barongsai yang Beda Nasib

Sudah banyak orang mengenal kesenian barongsai tapi tidak demikian halnya dengan kesenian liong. Sejauh ini belum banyak orang yang mengenal liong, kesenian sejenis barongsai.. Kesenian liong yang berada di Jatinangor, Sumedang ini masih kalah tenar dengan kesenian sejenisnya, barongsai. Meskipun demikian, liong sudah menjadi kesenian kebanggan warga Jatinagor sejak Indonesia belum merdeka.

Jika kita melihat barongsai, itu hal yang sudah biasa, di berbagai daerah sudah banyak dan sering kita saksikan barongsai. Namun, di Jatinangor, Sumedang kita dapat melihat sesuatu yang berbeda. Bentuknya mirip barongsai tapi bukan barongsai seperti yang biasa kita lihat. Kesenian asal Jatinangor yang serupa tapi tidak sama dengan barongsai itu dinamakan liong. Jika barongsai merupakan perwujudan naga besar, liong adalah kesenian yang berwujud ular raksasa.

“Liong berbeda dengan barongsai, kalau barongsai kan naga, liong ini ular raksasa,” ungkap Junaedi, koordinator kesenian Liong ini. Disebut ular raksasa karena memang ukuran ularnya besar. Panjang liong bisa mencapai 12 meter. Untuk memainkannya pun berbeda dengan barongsai. Jika barongsai bisa dimainkan hanya dengan dua orang, untuk memainkan liong paling tidak dibutuhkan lima orang serta seorang sebagai pembawa mustika.

Seperti barongsai, saat tampil, liong pun diiringi dengan musik pengiring. Tambur, genjring, dan kenong menjadi alat musik pengiring untuk meramaikan penampilan liong. Dengan ditambah musik pengiring ini membuat atraksi liong selalu meriah. Secara keseluruhan dalam sekali atraksi, liong membutuhkan sekitar 30 orang pemain, termasuk pemain liong dan musik pengiring, pembawa mustika, serta pemain cadangan. “Untuk memainkan liong dibutuhkan banyak orang, soalnya bikin capek, apalagi yang main liongnya” ujar Junaedi.

Kesenian liong ini bisa kita temukan di Dusun Banjarsari, Desa Jatimukti, Jatinangor, Sumedang. Menurut Junaedi, biasanya liong sering dimainkan pada acara hajatan sunatan. Orang yang punya hajatan umumnya mengundang Junaedi dan kelompoknya untuk membawakan liong demi meramaikan acara sunatan anak pemilik hajat.

Junaedi mengaku tidak mematok harga untuk sekali tampil membawakan liong. Soal bayaran, ia hanya mengharapkan kerelaan orang yang mengundangnya. “Kita tidak menetapkan harga, tergantung keikhlasan yang memberi saja,” tuturnya. Berdasarkan pengakuan Junaedi biasanya ia beserta kelompok liongnya dibayar sekitar Rp 900 ribu. Bayaran yang mereka terima itu bervariasi. Untuk tetangga dekat mereka lebih fleksibel soal harga. Mereka rela dibayar Rp 500 ribu untuk tampil dalam sunatan tetangga.

Tidak hanya tampil di sekitar lingkungan tetangga atau lingkup Jatinangor. Liong ini juga sudah beberapa kali tampil di daerah lain seperti kawasan Kota Sumedang, Ciwidey, Bandung, bahkan rencananya liong ini akan tampil di Sumatera. Junaedi mengungkapkan pihaknya tidak pernah melakukan promosi apapun hingga liong bisa tampil di daerah lain. Menurutnya liong bisa dikenal di daerah lain karena tidak sedikit orang-rang yang berasal dari daerahnya memperkenalkan liong di daerah lain. “Tetangga-tetangga kita banyak yang cerita tentang liong ini di daerah lain,” Berkat cerita-cerita mereka, liong jadi terkenal ke daerah lain di luar Jatinangor.

Selain tampil dalam acara sunatan, kesenian liong juga lazim diadakan saat perayaan hari ulang tahun Indonesia. “Setiap 17 Agustus di desa kami biasanya diadakan atraksi liong,” ujar Junaedi. Tidak hanya itu, Junaedi menceritakan, liong juga pernah tampil dalam festival-festival kesenian. “Kita pernah tampil meramaikan festival kuda rengong di Sumedang,” ujarnya.
Meskipun belum dikenal banyak orang bukan berarti kesenian ini ialah kesenian yang baru lahir. Bahkan jika menilik sejarahnya, kesenian ini sebenarnya sudah berumur tua. Menurut Junaedi, kesenian liong ini telah ada sejak zaman Belanda.

Berdasarkan penjelasan Junaedi, sejarah munculnya liong berawal dari permintaan kerajaan Belanda. Pada 1929, anak Ratu Helmina meminta tiap desa mengirimkan kesenian untuk pawai. Masyarakat Jatinangor pun memikirkan kesenian apa yang akan dikirimkan dalam pawai tersebut. Kebetulan pada saat itu Abah Juki, seorang warga Jatinangor, memiliki kenalan orang Cina. Oleh kenalan Abah Juki yang berasal dari Cina itulah lahir kesenian liong. Orang Cina itu kemudian melatih warga Jatinangor untuk melakukan atraksi liong. Sejak itu lahirlah kesenian liong di Jatinangor.

Sebagai kesenian yang sudah berumur tua, saat ini kesenian liong terus tergerus zaman. Generasi tua yang menjadi ujung tombak kesenian ini sudah pergi. “Orang-orang tua yang jago main liong kini sudah tidak ada, jadi liong yang sekarang tidak sehebat dulu,” ujar Junaedi yang mengaku generasi keempat ini.

Meskipun demikian upaya-upaya pelestarian telah dilakukan agar kesenian ini tidak punah. Junaedi beserta kelompoknya berusaha melestarikannya dengan mengajarkan liong kepada anak-anak. Mulai dari anak-anak SD, SMP, hingga SMA dilatih oleh mereka agar bisa memainkan liong. Junaedi berharap kesenian ini tidak hilang sebagai kesenian asli yang ada di Jatinangor. Selain itu, dia berharap kepada pemerintah setempat agar lebih memperhatikan kesenian liong ini. “Kami merasa perhatian pemerintah masih kurang terhadap kesenian ini,” tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar