Sabtu, 02 Januari 2010

undefined undefined

Randai di jatinangor


Seni adalah ekspresi keindahan masyarakat yang bersifat kolektif. Salah satu kelebihan Indonesia terdapat pada keseniannya. Tidak bisa dipungkiri jika kesenian di Indonesia beragam karena Indonesia memiliki macam-macam suku dan budaya. Kekhasan Indonesia paling tampak pada kesenian dan busaya tradisionalnya.
Salah satu kesenian ndonesia yng tergolong unik adalah Randai. Randai adalah salah satu kesenian tradisional Minangkabau yang dimaikan oleh sekelompok orang. Randai bukan sebuah tari namun randai adalah permainan anak nagari di Minangkabau. Gerakannya merupakan kolaborasi antara tari dan silat. Ciri khasnya terdapat pada sarawa galembaong (celana gelombang ) yang wajib dikenakan oleh para pemain Randai. Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang didendangkan dan galombang (tari). Namun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya penokohan dan dialog dalam sandiwara-sandiwara. Jadi, Randai pada awalnya adalah media untuk menyampaikan cerita-cerita rakyat, dan kurang tepat jika Randai disebut sebagai Teater tradisi Minangkabau walaupun dalam perkembangannya Randai mengadopsi gaya bercerita atau dialog teater atau sandiwara.
Dahulunya Randai hanya dimainkan oleh laki-laki saja. Namun seiring dengan perkembangan zaman kini randai telah banyak juga pemain randai yang perempuan. “ Dulu randai itu Cuma laki-laki yang main, tapi sekarang-sekarang ini sudah banyak juga perempuan yang bermain randai “ Ujar Rinaldi salah satu pemain randai di UPBM Universitas Padjadjaran.
Di Jatinangor pun randai bisa ditemukan. Di salah satu UKM di Universitas yaitu Unit Pencinta Budaya Minangkabau (UPBM), dlam kegiatannya terdapat Randai. Mereka latihan setiap kamis malam. Kini anggota randai telah mencapai 20 orang. “ Randai akan lebih asik kalau pemainnya banyak, akan lebih ramai” ujar Tika. Kekompakan dan ketegasan gerakan merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam berandai. Karena kekuatan dan kelebihan gerakan randai ada pada detail gerakannya. Para anggota randai di UPBM kebanyakan berasal dari mahasiswa minang di Universitas Padjdjaran. Namun tidak menutup kemungkinan untuk siapa saja yang tertarik kepada kesenian randai untuk mengikuti latihannya.
Randai biasanya dimainkan dengan formasi bergerak melingkar. Randai ini dimainkan oleh pemeran utama yang akan bertugas menyampaikan cerita, pemeran utama ini bisa berjumlah satu orang, dua orang, tiga orang atau lebih tergantung dari cerita yang dibawakan, dan dalam membawakan atau memerankannya pemeran utama dilingkari oleh anggota-anggota lain yang bertujuan untuk menyemarakkan berlansungnya acara tersebut. Karena gerakan randai merupakan kolaborasi antara silat dan tari maka dalam gerakannya pun penuh dengan bentuk kuda-kuda. Maka dari itu setiap pemainnya harus berfisik kuat dan memiliki kuda-kuda yang kuat. Kuda-kuda berfungsi untuk kesemibangan juga membertegas bentuk gerakan.
Randai UPBM Unpad telah tampil diberbagai event, antaralain, di STISI, malam palarai rindu, dan Charity Show Di Kemang. Satu hal yang masih sangat disayangkan di randai UPBM Unpad. Yaitu masih kurangnya realisasi dari drama tetater dalam randainya. “untuk drama kita masih belum ada yang pemain pasti, namun sedang kita usahakan, tapi kita pernah mengkolaborasikannya dengan drama saat Acara Siriah Bayu dan dengan musikalisasi puisi saat Charity show di kemang “ ujar Rinaldi.
undefined undefined

Singa Depok Sarana Pemersatu Warga


Mungkin bagi sebagian kalangan yang bermukim di daerah Jatinangor sudah cukup mengenal Singa Depok. Namun, tentu masih banyak juga yang belum tahu, bukan? Nah, Singa Depok adalah jenis kesenian Jatinangor, tepatnya berasal dari Desa Jatiroke Rw 03, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang.

Singa Depok biasanya ditemukan dalam berbagai acara, seperti : sunatan, perayaan 17 Agustus, dan lain sebagainya. Orang yang mempunyai hajatan sering mendatangkan Singa Depok untuk meramaikan hajatan mereka. Kemudian Singa Depok diminta untuk mengarak anak mereka keliling kampung. Arak-arakan seperti ini tentu menjadi perhatian warga sekitar, terutama anak-anak. Maka, kadang-kadang banyak juga anak-anak yang bukan dari keluarga pemilik hajatan, minta naik singa-singaan tersebut.

Nah, properti utama dalam kesenian ini adalah boneka singa yang berupa tandu. Di atas singa itulah, orang yang telah menyewa mereka, didudukkan untuk diarak. Sebuah singa-singaan itu dipikul oleh empat orang. Dan biasanya Singa Depok ini membawa dua singa-singaan dalam setiap penampilan. Sama halnya dengan tarian, kesenian ini juga diiringi alunan musik. Alat musik yang digunakan berupa gong, kecrek, tambur, gendang, kenong, dan lain sebagainya. Layaknya permainan sepak bola, permainan ini juga mengenal pemain cadangan. Jika satu anggota kelelahan, maka anggota lain masuk untuk menggantikan. Dengan bentuk yang demikian kompleks, tentu permainan ini melibatkan banyak orang di dalamnya. Bahkan dalam setiap penampilan, kesenian Singa Depok membutuhkan 28 orang.

Di Jatinangor sendiri jenis kesenian ini memang masih tergolong baru. Ide untuk mengangkat kesenian ini dicetuskan oleh AA Salehuddin (43) bersama pemuda RW 03 Desa Jatiroke pada tahun 2006. Menurut pria yang akrab disapa Saleh tersebut, kesenian Singa Depok sebenarnya memang sudah ada di daerah lain. Namun, lanjut dia, untuk daerah Jatinangor dan sekitarnya, jenis kesenian ini belum ada. Makanya, ia bersama pemuda RW 03 Desa Jatiroke bahu-membahu untuk merealisasikan gagasan ini.

Bermodalkan uang bantuan dari pemerintah sebesar Rp 1,5 juta dan uang kas Rw, mereka mulai mewujudkan gagasan itu. Namun, dengan uang sebanyak itu mereka belum mampu membeli alat-alat yang dibutuhkan. Sehingga untuk pertama kali tampil, Saleh dan teman-teman terpaksa memainkan Singa Depok dengan alat-alat pinjaman.

Kini, setelah tiga tahun berjalan, kelompok Singa Depok yang bernama Geboy ini telah mampu membeli alat sendiri. Saleh mengakui biasanya setiap kali tampil mereka mendapatkan uang sekitar tujuh ratus ribu rupiah. Walaupun demikian, Saleh tidak pernah mematok harga resmi, terutama bagi warga Desa Jatiroke. ”Kami tidak mematok harga kepada yang menyewa kami, apalagi warga Jatiroke. Mereka membayar seridhonya saja, tapi dari saweran kami juga dapat. Biasanya dari uang sewa dan saweran, tujuh ratus ribu dapat lah” ujar Saleh. Uang hasil penampilan itu dibagi rata sebanyak jumlah pemain. Setelah dibagi, jika ada uang tersisa, uang itu dimasukkan ke dalam kas. Uang kas itu lah yang kemudian dipergunakan untuk membeli alat-alat.

Namun, hal terpenting buat Saleh adalah makna dan tujuan dari kesenian ini. Tujuan semula kesenian ini adalah sebagai alat untuk menyatukan warga dan menghindarkan warga dari perbuatan negatif yang tidak berguna serta merusak diri sendiri. ”Sebenarnya ini (kesenian) bertujuan untuk menjauhkan warga dari perbuatan-perbuatan negatif, seperti narkoba dan membuat warga itu bersatu. Kepuasan tersendiri dari memainkan kesenian ini adalah kekompakannya, bukan uangnya. Karena kalau uang, yang kita terima ga seberapa,” cetus Saleh.

Memang, sampai saat ini Singa Depok sangat efektif untuk menumbuhkan rasa persaudaraan warga. Mereka bahu-membahu untuk melestarikan kesenian ini. Biasanya mereka berkumpul satu sekali seminggu untuk latihan. Bahkan jika ada panggilan atau undangan, menurut pria yang bekerja di pabrik ini, dirinya rela izin kerja agar bisa tampil bersama Singa Depok Geboy. ”Saya dan anak-anak yang lain rela izin dari kerjaan biar bisa tampil sama Singa Depok,”cetusnya.

Dari hal di atas dapat dilihat bahwa kesenian tidak hanya sebagai wadah aktualisasi diri ataupun sarana mencari nafkah, tetapi juga bisa menjadi sarana yang sangat ampuh untuk menggalang persatuan warga. Bahkan, kesenian juga bisa menghindarkan warga dari perbuatan-perbuatan negatif yang hanya akan merusak diri sendiri. Semoga kita semua bisa melestarikan kesenian tersebut, agar kerukunan dan kekayaan budaya kita tetap awet terjaga.

Jumat, 01 Januari 2010

undefined undefined

Liong, Kesenian Jatinangor Mirip Barongsai yang Beda Nasib


Liong, Kesenian Jatinangor Mirip Barongsai yang Beda Nasib

Sudah banyak orang mengenal kesenian barongsai tapi tidak demikian halnya dengan kesenian liong. Sejauh ini belum banyak orang yang mengenal liong, kesenian sejenis barongsai.. Kesenian liong yang berada di Jatinangor, Sumedang ini masih kalah tenar dengan kesenian sejenisnya, barongsai. Meskipun demikian, liong sudah menjadi kesenian kebanggan warga Jatinagor sejak Indonesia belum merdeka.

Jika kita melihat barongsai, itu hal yang sudah biasa, di berbagai daerah sudah banyak dan sering kita saksikan barongsai. Namun, di Jatinangor, Sumedang kita dapat melihat sesuatu yang berbeda. Bentuknya mirip barongsai tapi bukan barongsai seperti yang biasa kita lihat. Kesenian asal Jatinangor yang serupa tapi tidak sama dengan barongsai itu dinamakan liong. Jika barongsai merupakan perwujudan naga besar, liong adalah kesenian yang berwujud ular raksasa.

“Liong berbeda dengan barongsai, kalau barongsai kan naga, liong ini ular raksasa,” ungkap Junaedi, koordinator kesenian Liong ini. Disebut ular raksasa karena memang ukuran ularnya besar. Panjang liong bisa mencapai 12 meter. Untuk memainkannya pun berbeda dengan barongsai. Jika barongsai bisa dimainkan hanya dengan dua orang, untuk memainkan liong paling tidak dibutuhkan lima orang serta seorang sebagai pembawa mustika.

Seperti barongsai, saat tampil, liong pun diiringi dengan musik pengiring. Tambur, genjring, dan kenong menjadi alat musik pengiring untuk meramaikan penampilan liong. Dengan ditambah musik pengiring ini membuat atraksi liong selalu meriah. Secara keseluruhan dalam sekali atraksi, liong membutuhkan sekitar 30 orang pemain, termasuk pemain liong dan musik pengiring, pembawa mustika, serta pemain cadangan. “Untuk memainkan liong dibutuhkan banyak orang, soalnya bikin capek, apalagi yang main liongnya” ujar Junaedi.

Kesenian liong ini bisa kita temukan di Dusun Banjarsari, Desa Jatimukti, Jatinangor, Sumedang. Menurut Junaedi, biasanya liong sering dimainkan pada acara hajatan sunatan. Orang yang punya hajatan umumnya mengundang Junaedi dan kelompoknya untuk membawakan liong demi meramaikan acara sunatan anak pemilik hajat.

Junaedi mengaku tidak mematok harga untuk sekali tampil membawakan liong. Soal bayaran, ia hanya mengharapkan kerelaan orang yang mengundangnya. “Kita tidak menetapkan harga, tergantung keikhlasan yang memberi saja,” tuturnya. Berdasarkan pengakuan Junaedi biasanya ia beserta kelompok liongnya dibayar sekitar Rp 900 ribu. Bayaran yang mereka terima itu bervariasi. Untuk tetangga dekat mereka lebih fleksibel soal harga. Mereka rela dibayar Rp 500 ribu untuk tampil dalam sunatan tetangga.

Tidak hanya tampil di sekitar lingkungan tetangga atau lingkup Jatinangor. Liong ini juga sudah beberapa kali tampil di daerah lain seperti kawasan Kota Sumedang, Ciwidey, Bandung, bahkan rencananya liong ini akan tampil di Sumatera. Junaedi mengungkapkan pihaknya tidak pernah melakukan promosi apapun hingga liong bisa tampil di daerah lain. Menurutnya liong bisa dikenal di daerah lain karena tidak sedikit orang-rang yang berasal dari daerahnya memperkenalkan liong di daerah lain. “Tetangga-tetangga kita banyak yang cerita tentang liong ini di daerah lain,” Berkat cerita-cerita mereka, liong jadi terkenal ke daerah lain di luar Jatinangor.

Selain tampil dalam acara sunatan, kesenian liong juga lazim diadakan saat perayaan hari ulang tahun Indonesia. “Setiap 17 Agustus di desa kami biasanya diadakan atraksi liong,” ujar Junaedi. Tidak hanya itu, Junaedi menceritakan, liong juga pernah tampil dalam festival-festival kesenian. “Kita pernah tampil meramaikan festival kuda rengong di Sumedang,” ujarnya.
Meskipun belum dikenal banyak orang bukan berarti kesenian ini ialah kesenian yang baru lahir. Bahkan jika menilik sejarahnya, kesenian ini sebenarnya sudah berumur tua. Menurut Junaedi, kesenian liong ini telah ada sejak zaman Belanda.

Berdasarkan penjelasan Junaedi, sejarah munculnya liong berawal dari permintaan kerajaan Belanda. Pada 1929, anak Ratu Helmina meminta tiap desa mengirimkan kesenian untuk pawai. Masyarakat Jatinangor pun memikirkan kesenian apa yang akan dikirimkan dalam pawai tersebut. Kebetulan pada saat itu Abah Juki, seorang warga Jatinangor, memiliki kenalan orang Cina. Oleh kenalan Abah Juki yang berasal dari Cina itulah lahir kesenian liong. Orang Cina itu kemudian melatih warga Jatinangor untuk melakukan atraksi liong. Sejak itu lahirlah kesenian liong di Jatinangor.

Sebagai kesenian yang sudah berumur tua, saat ini kesenian liong terus tergerus zaman. Generasi tua yang menjadi ujung tombak kesenian ini sudah pergi. “Orang-orang tua yang jago main liong kini sudah tidak ada, jadi liong yang sekarang tidak sehebat dulu,” ujar Junaedi yang mengaku generasi keempat ini.

Meskipun demikian upaya-upaya pelestarian telah dilakukan agar kesenian ini tidak punah. Junaedi beserta kelompoknya berusaha melestarikannya dengan mengajarkan liong kepada anak-anak. Mulai dari anak-anak SD, SMP, hingga SMA dilatih oleh mereka agar bisa memainkan liong. Junaedi berharap kesenian ini tidak hilang sebagai kesenian asli yang ada di Jatinangor. Selain itu, dia berharap kepada pemerintah setempat agar lebih memperhatikan kesenian liong ini. “Kami merasa perhatian pemerintah masih kurang terhadap kesenian ini,” tuturnya.